Oleh : Ir. Mohammad Yahya
(Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah Al Salaam)
Ulama Islam Ibrahim Altahawi mendefinisikan tujuan-tujuan sistem ekonomi syariah sebagai kecukupan dan kedamaian yang bisa diwujudkan dengan pemberantasan kelaparan dan ketakutan. Juga dengan menjamin bahwa setiap kebutuhan dasar seseorang dipenuhi. Daftar kebutuhan yang ia cantumkan mencakup makanan, rumah, layanan kesehatan, pendidikan, dan semua yang dianggap perlu sesuai dengan adat istiadat masyarakat. Ini adalah satu poin yang secara universal didukung ulama-ulama lain. Dalam sistem ekonomi syariah, tujuan-tujuan non ekonomi harus dipertimbangkan, seperti pemenuhan kebutuhan spiritual.
Menurut teolog Pakistan Said Abul A’la Maududi : “Untuk menegakkan keadilan ekonomi, Islam tidak semata-mata mengandalkan pada hukum”. Demi tujuan ini, penekanan diutamakan pada mereformasi manusia melalui iman, shalat, pendidikan dan pelatihan moral, mengubah preferensi dan jalan pikirannya serta menanamkan dalam dirinya kewajiban moral yang menjaganya tetap adil.
Jka sarana-saran ini gagal, umat muslim harus cukup kuat memberikan tekanan untuk membuat setiap individu mematuhi batasan-batasan ini. Ketika inipun gagal mencapai tujuan, Islam dapat menggunakan kekuatan hukum untuk menegakkan keadilan lewat kekerasan.
Jadi ada perbedaan antara hal yang wajib dan yang diinginkan oleh individu. Hal yang wajib ditegakkan secara hukum, sementara yang diinginkan dijamin oleh pendidikan. Segala kekurangan dalam pencapaian tujuan kemudian dikompensasi oleh negara dengan menegakkan apa yang diinginkan seraya mengambil tindakan-tindakan yang perlu lainnya. Dengan cara inilah alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan yang diinginkan terjadi. Sebagai perbandingan, ada sejumlah tujuan ekonomi dan non ekonomi serupa dalam sistem ekonomi non syariah. Akan tetapi menurut kritikus muslim, sistem-sistem ekonomi non syariah itu gagal memenuhi ideal-ideal mereka. Misalnya penulis Pakistan Syech Mahmud Ahmad menolak klaim bahwa kapitalisme adalah suatu proses yang terus menerus menyesuaikan dirinya demi kepuasan maksimal keinginan manusia. Dia beralasan bahwa kapitalisme telah menyebabkan begitu banyak kerusakan. Krisis ekonomi sudah cukup untuk menolak klaim semacam itu.
Mufti Muhammad Tani Usman berkata “ Perbedaan dasar antara ekonomi kapitalis dan syariah adalah bahwa dalam kapitalisem sekuler, motif laba atau kepemilikan pribadi mendapatkan kekuasaan tanpa kendali untuk mendapatkan keputusan ekonomi”. Keberadaan mereka tidak dikendalikan oleh perintah-perintah ILAHI. Jikalau ada pembatasan-pembatasan tertentu, itu adalah sesuatu yang dipaksakan oleh manusia dan selalu bisa berubah melalui badan legislatif (proses pembuatan undang-undang) yang demokratis, yang tidak menerima otoritas kekuatan SUPRAMANUSIA. Islam mengakui kepemilikan pribadi, motif laba dan kekuatan pasar. Islam memberikan pembatasan-pembatasan Ilahiah pada kegiatan-kegiatan ekonomi. Pembatasan-pembatasan diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa. Allah yang pengetahuannya tak terbatas dan tak bisa digoyahkan oleh otoritas manusia manapun. Larangan terhadap riba (bunga), berjudi, menimbun, memperdagangkan barang atau jasa tak halal dan transaksi spekulatif adalah sejumlah contoh dari pembatasan-pembatasan Ilahiah. Semua larangan ini jika digabungkan secara kumulatif, memiliki keseimbangan yang terjaga, keadilan distribusi dan persamaan kesempatan.