“Bank Syariah = bagi hasil ?”
Ada yang heran dengan perilaku bank Syariah karena “yang katanya Islami, ternyata bagi-hasilnya hanya berlaku bila nasabah pembiayaan mengalami keuntungan. Bank tidak ikut berbagi bila nasabah mengalami kerugian. Apakah itu Islami?.” Kalau benar begitu, kesepakatan ini tidak adil dan tentu saja tidak Islami.
Syukurlah, yang sebenarnya tidak seperti itu. Keheranan itu hanya akibat kurang informasi tentang Bank Syariah. Bagi-hasil bukanlah satu-satunya cara pembeayaan yang disediakan Bank Syariah untuk nasabahnya.
Menurut Undang Undang R.I. no. 21 tahun 2008 tentang “Perbankan Syariah”, bank Syariah dapat mendukung usaha atau memenuhi kebutuhan nasabahnya dengan 5 macam cara pembiayaan, yaitu:
- bagi hasil, dengan akad (perjanjian) mudharabah atau musyarakah,
- sewa-menyewa, dengan akad ijarah atau sewa-beli dengan akad ijarah muntahiya bittamlik,
- jual beli, dengan akad utang murabahhah, salam dan istishna,
- pinjam-meminjam dengan akad piutang qardh, dan
- sewa-menyewa jasa dengan akad ijarah untuk transaksi multi jasa.
Jelas bahwa cara bagi-hasil hanya diterapkan pada produk mudharabah atau musyarakah; produk-produk lain menerapkan cara berbeda, yang bukan bagi-hasil.
Pada dasarnya mudharabah atau musyarakah adalah kesepakatan kerjasama antara bank dan nasabah untuk menyelenggarakan suatu usaha (joint venture). Perbedaanya terletak pada porsi penyertaan, peran dan tanggung jawab para pihak.
Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menerbitkan fatwa yang mengatur garis besar perbedaan itu. Fatwa no.07 tahun 2000 menyatakan bahwa: “mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS/bank) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak”. Pembagian keuntungan usaha harus memenuhi syarat, antara lain:
“a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan”.
Apabila terjadi kerugian maka Fatwanya adalah: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
Musyarakah, menurut fatwa no.08 tahun 2000 adalah: “pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan”. Ketentuan pokok mengenai pembagian keuntungan sebagai berikut: “Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra”. Dalam hal terjadi kerugian, ketentuannya adalah: “Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal”.
Jelaslah bahwa Fatwa DSN-MUI mewajibkan pembiayaan dengan cara bagi-hasil membagi keuntungan maupun kerugian usaha diantara para pihak.
Sama halnya dengan Undang-Undang Negara, Fatwa DSN-MUI mengikat semua Lembaga Keuangan Syariah. Oleh karena itu tidak akan ada Bank Syariah yang membuat kesepakatan (akad) pembiayaan dengan cara bagi-hasil, tanpa ikut menanggung kerugian nasabahnya.
Pembiayaan oleh Bank Syariah yang menggunakan cara lain, yaitu: sewa-menyewa, jual-beli, pinjam-meminjam atau sewa-menyewa jasa, tidak mempersoalkan keuntungan atau kerugian Nasabahnya. Setiap cara tersebut memiliki aturan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang khas. Kekhasan itu dapat dibaca dalam dokumen (Akad) yang telah ditandatangani oleh Bank dan Nasabahnya. Isi Akad sangat penting karena fungsinya adalah pengatur kelangsungan pembiayaan, yang berkekuatan hukum. Oleh karena itu Nasabah perlu membaca isi Akad, terutama untuk memahami hak dan kewajibannya sebagi nasabah pembiayaan dari Bank. Untuk memastikan adanya pemahaman yang benar, pihak Bank perlu berperan aktif memberikan penjelasan kepada Nasabahnya. Dengan begitu salah pengertian yang mengarah pada sengketa selama perikatan pembiayaan berlangsung, dapat dihindari.
Pada kenyataannya, perbedaan pemahaman isi akad (asymetri) itulah yang lebih sering menyebabkan sengketa perbankan.
B.M. Sjamsoeddin, Pekerja Lembaga Keuangan Syariah. 31 Juli 2021.